Kado Buat Tuhan
Matahari bersinar cerah sore ini.
Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun
dari tidur siang karena silaunya cahaya itu dan keringat di seluruh badan.
Sinar itu datang melalui ventilasi yang berada di atas jendela kamar. Ingin
kututup ventilasi itu dengan kain tapi tidak bisa karena badan saya
pendek. Dan tidak mungkin saya memanjatnya karena badan terasa lemas
sekali.
Akhirnya saya bangun dari tempat
tidur dan berjalan menuju meja belajar yang ada di dekat jendela. Saya membuka
jendela kamar dan membiarkan cahaya matahari sore memenuhi kamar tidur.
Meskipun sudah bangun saya mencoba untuk tidur lagi di atas meja. Ketika ingin
terlelap lagi, saya mendengar suara ibu memanggil.
“Nak, apakah kamu sudah bangun
tidur? Tolong ke sini bantu ibu sebentar!” Terdengar suara ibu memanggil
saya. Ternyata ibu tahu kalau saya sudah bangun. Oleh sebab itu, ia meminta
saya untuk membantunya. Ia mengetahui melalui bunyi jendela yang telah saya
buka. “ Nanti dulu ya bu! Masih belum segar nih,” jawabku.
Dari jendela kamar saya melihat ibu
dengan tekun mengisi pot-pot dengan tanah. Kemudian dia mengambil berbagai
macam jenis bunga yang telah ditanamnya di pollybag dan memindahkan bunga itu
ke dalam pot yang telah diisi dengan tanah. Terus menerus ibu melakukan
kerjanya itu sehingga sudah banyak pot yang telah terisi dengan bunga. Tampak
jejeran pot-pot dengan bunga-bunga yang indah tersusun rapi di kursi panjang
yang sengaja dibuat oleh ibu untuk meletakkan bunga-bunga itu.
Lalu saya mengambil buku Chickens
Soup yang tersusun rapi di atas meja belajar. Halaman demi halaman saya
buka. Ada berbagai cerita menarik. Tiba-tiba kegiatan membaca saya berhenti
sejenak karena ada kata-kata yang begitu menarik. Saya mengambil buku kecil
yang ada di dalam laci meja. “Apakah maksud kata-kata ini?” pikirku. “Lebih
baik kutulis sekarang.”
“Seorang ahli kimia yang dapat
mengeluarkan dari hatinya,
welas asih, rasa hormat, kerinduan, kesabaran, penyesalan, keterkejutan, dan rasa maaf, lalu memadukannya menjadi suatu senyawa, akan mampu menciptakan atom yang disebut cinta.” |
Kuambil buku kecil yang ada di dalam
laci dan kutulis kata-kata tersebut. Setelah itu kusimpan kembali buku itu di
dalam laci kemudian melanjutkan membaca cerita-cerita yang lain. Tidak lama
kemudian, terdengar suara ibu memanggil lagi. “Anton cepat ke halaman,
ibu butuh bantuan! Ibu tidak mampu mengangkat tanah ini. Cepat nak Bantu ibu.
Tingalkan dulu buku itu nanti kamu lanjutkan lagi.”
Panggilan ibu membuat saya menjadi
marah karena dari tadi terus saja memanggil. Karena jengkel maka tidak saya
hiraukan. “Lebih baik membaca,” pikirku. “Lagian buku ini sangat penting bagi
hidup saya. Tidak ada yang lebih baik dari pada membaca buku ini.” Memang dari
dulu saya lebih senang membaca daripada melakukan hal-hal yang lain. Untuk
membaca saya kadang-kadang sampai lupa waktu. Saya tidak mempedulikan situasi
di sekitar saya jika sedang asyik membaca.
Tapi perasaan marah dan kesal
menyelimuti saya ketika suara ibu terus terdengar memanggil supaya membantunya.
Panggilan ini tidak saya hiraukan lagi. Saya semakin menutup kedua
telinga saya dengan kedua jari telunjuk. Tetapi tetap saja suara ibu terdengar
memanggil. Dengan rasa jengkel dan marah, saya hempaskan buku itu di atas meja
belajar dan dengan langkah berat beranjak ke luar. “Bu kok siang-siang gini
kerja sih? Sekarang kan baru jam 3. Bisa tidak tunggu sore dikit?”
Ibu diam. Dia tidak menjawab
pertanyaan saya. Dengan tenang dan tunduk dia memindahkan tumpukan tanah kompos
dari tempat yang besar ke tempat yang kecil supaya dia bisa membawanya. Dia
tahu bahwa saya tidak mau membantunya. Karena melihat ekspresi wajah saya
yang marah, dia tidak lagi mengajak untuk bekerja lagi. Melihat
kemenangan yang kuperoleh itu, dengan langkah riang saya kembali masuk kamar
dan melanjutkan membaca buku.
Ibu tidak memanggil lagi sampai pukul 05.30. Saya melihat ke luar sudah mulai
gelap. Belum ada tanda-tanda kalau ibu sudah masuk rumah. lampu-lampu di ruang
tamu masih gelap. Hanya di kamar saya yang sudah menyala lampunya.
Sudah jam 06.00 lampu di luar masih
belum dinyalakan. Belum terdengar suara berisik dari luar kamar. Suara lonceng
angelus dari gereja terdengar lembut memanggil anggotanya untuk berdoa
“Malaikat Tuhan”. Saya merasa heran mengapa suara ibu tidak terdengar
sedikitpun. Padahal saya tahu ibu selalu mendoakan doa ini. Meskipun sedang
bekerja ia selalu berhenti sejenak untuk berdoa. Rasa heran ini saya simpan
karena terlalu asyik membaca.
Ayah saya belum juga datang dari
kerjanya. Ayah adalah seorang sopir bis yang biasanya pulang pada jam
10.00-11.00 malam atau bahkan tidak pulang dalam satu hari. Makanya tidak heran
bagi saya jika kehadiran ayah di rumah hanya sebentar-sebentar saja. Karena
bagi saya jika ayah datang tengah malam atau bahkan tidak datang, itu hal yang
biasa.
Setelah buku itu habis terbaca, saya
beranjak dari tempat duduk menuju kamar mandi yang berada dekat dapur sekaligus
ingin melihat pekerjaaan ibu. Saya ingin melihat apa yang ibu lakukan di
dapur, sampai-sampai lampu tidak dinyalakan. Ketika sampai di dapur, lampu juga
masih gelap. Maka dengan perasaan cemas saya memikirkan ibu. Saya segera
berlari ke halaman depan.
Saya terkejut karena melihat sosok tubuh manusia terbaring di tanah. Saya terus
mengamati sosok itu karena suasana di tanah sudah gelap. Saya semakin penasaran
sosok tubuh siapakah itu? Tampaknya seorang wanita tua, tapi itu tidak mungkin
ibu. Karena rasa penasaran ini saya berlari ke dalam rumah untuk menekan skalar
lampu yang tidak jauh dari pintu depan. Setelah itu berlari ke pintu depan
untuk memastikan siapa sosok itu.
Nafas saya berdetak kencang,
kepanikan semakin menjadi-jadi karena melihat sosok itu ternyata ibu. Tiba-tiba
air mata saya mengalir. Karena melihat ibu sudah terbaring di tanah, saya
segera berlari ke tempat ibu. Alangkah terkejutnya ketika mendapati seluruh
tubuh ibu sudah dingin. “Ibu… ibu.. apa yang terjadi? Bangun bu!” tangisan saya
semakin terdengar keras. Kepanikan semakin menyelimuti. Ingin saya angkat tubuh
ibu tetapi tidak mampu.
Saya sandarkan kepala saya di
atas dada ibu. “Oh Tuhan! Nafas ibu berhenti,” teriakku. saya semakin panik dan
menangis dengan histeris. Untuk memastikannya lagi, tangan saya langsung
menyentuh denyut nadinya. Nafas saya menjadi tidak karuan dan tangis semakin
histeris. Tetangga-tetangga berdatangan karena mendengar tangisan saya. Mereka
membantu saya mengangkat tubuh ibu ke dalam rumah. Mereka juga mengatakan bahwa
ibu benar-benar sudah tiada. Tidak dapat lagi dibendung tangisan saya.
Ucapan turut berduka cita dan
hiburan terdengar di telinga saya. Saya merasa muak mendengar semuanya itu. Ada
sesuatu yang mengganjal hati sehingga saya terus menatap tubuh yang terbaring
lurus di depan mata. Penyesalanlah yang sedang mengganjal itu. Saya
menyesal dan sungguh menyesal mengapa saya tidak membantu ibu tadi. saya
tidak memperhatikan kesehatan ibu. Padahal saya tahu kalau ibu selama ini
menderita penyakit jantung. Saya bodoh dan bodoh. Tapi mengapa Tuhan
tidak memberi waktu untuk saya supaya meminta maaf kepada ibu? Cukup berdosakah
saya? Sekali lagi saya katakan bahwa saya bodoh dan egois.
Hari demi hari terus berlalu.
Sekarang saya hanya mempunyai seorang ayah dan tidak mempunyai saudara satupun
karena saya adalah anak semata wayang. Makanya saya sangat mencintai ayah dan
tidak ingin peristiwa itu terulang lagi untuk kedua kalinya. Seminggu sekali
saya dan ayah mengunjungi makam ibu. Saat inilah saya semakin tersadar bahwa
ibu tetap mencintai saya. Ia selalu mendoakan saya dari surga. “Meskipun
sulit dan senang, cobalah untuk mencari makna positif dari peristiwa tersebut.”
Demikian ayah menasehati saya kali ini ketika dalam kunjungan ke makam ibu
menjelang Ujian Nasional. Dan kata-kata inilah yang semakin menguatkan saya.
Saya mau mencari makna positif dari kematian ibu. Saya tidak ingin rasa
penyesalan itu selalu mengungkung kehidupan saya. Kemudian dalam hati saya
berkata di samping batu nisan ibu, “Ibu saya ingin masuk biara. Saya janji
setelah lulus nanti akan saya lakukan.” Demikian janji saya kepada ibu di depan
batu nisan yang ada di depan saya.
Kamis
27 Agustusl 2015
Kepada: Anakku Anton Toto Iswanto
Di seminari
“Dialah buah hatiku, dia
kuserahkan kembali kepadaMu.”
Nak itulah tulisan ibumu yang
kertasnya masih tersimpan sampai saat ini. Saya yakin kamu bisa memahaminya.
Yang
mencintaimu
Ayahnda
Jimmy
|
Satu tahun telah terlewati bagi saya untuk memenuhi janji
saya kepada ibu. Meskipun dengan berat hati, ayah mengijinkan saya untuk masuk
biara. Tapi bagi saya sendiri, masuk biara merupakan sesuatu yang menyenangkan
karena banyak memiliki teman yang baru dan asyik. Satu hal yang sangat saya
kembangkan dalam kehidupan di seminari yaitu mencintai panggilan dengan
mencintai alam. “Ibu adalah seorang pencinta alam karena merawat tanaman adalah
kesukaannya. Mengapa saya tidak meneruskan ini dalam kehidupan saya saat ini,”
pikirku. Saya menyadari bahwa merawat tanaman merupakan hobby ibu. Cuek
merupakan sikapku yang menyebabkan kematian ibu. Oleh sebab itu, merawat
tanaman dan menghilangkan rasa cuek pelan-pelan saya hidupi. Dari hal inilah
meskipun dalam lingkungan seminari, saya tetap memberi yang terbaik buat ibu.
Sabtu sore romo direktur memberi
sepucuk surat yang tertuju atas nama saya. Kuterima surat itu dan kulihat
alamat pengirimnya. Ayah telah mengirim surat itu kepada saya. Saat menerima surat
ada perasaan senang karena sudah dua bulan ini ayah tidak mengabari saya.
Dengan segera saya berlari menuju kamar dengan membawa sepucuk surat di tangan.
Sesampai di kamar kuletakkan badanku di atas kursi yang berada di depan meja
belajar. Setelah saya menenangkan diri, kubuka isi amplop itu. Isinya hanyalah
sepucuk surat yang ditulis tangan oleh ayah.
Terima Kasih Telah Berkunjung:)
Kunjungi juga mydiarylusia.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment