***

Annyeong chingudeul...
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini
Blog ini berisi sinopsis drama dan movie/film Korea, Jepang, Taiwan, Cerpen, Dongeng dan Puisi
dan Juga curhatan hati author lewat rangkaian kata-kata tidak jelas*hehee :)
Jadi semoga blog sederhana ini bermanfaat bagi semua orang.
Happy Reading..!!


Sunday, 9 August 2015

Cerpen kehidupan :cerpen sedih 'Anak-anak kesayangan Tuhan'

Cerpen kehidupan dan kisah yang sedih

Anak-anak
kesayangan Tuhan
Aris Kurniawan

    

 Kata-kata ibu kami benar belaka, di sini kami lebih baik. Bisa terbang seperti kupu-kupu yang tidak menginginkan apa-apa lagi,termasuk ayam goreng. Kupu-kupu yang tak memerlukan bantal dan seilmut untuk tidur. Untuk apa kami membuat ayam goreng, jika rasa lapar dan ingin itu sudah tak ada; kenapa pula harus berdesak-desakan di tempat tidur bila ruang tak lagi berdaya mengurung kami. Kami mengepak-ngepakkan sayap, meluncur kesana kemari. Kami memang harus menahan sakit luar biasa sebelum sampai ketempat ini. Tapi rasa sakit itu tak berlangsung lama. Hanya beberapa detik setelah ibu membenamkan kepala kami satu persatu kedalam bak mandi.

“Mari, Nak,” kata ibu kami sambil sambil membopong kami dan memasukan kami ke dalam bak mandi yang airnya jadi meluber oleh tubuh kami, “tahan sebentar,” kata ibu kami lirih dan terdengar samar ditelinga kami. Air matanya berlinang. Sejenak kami melewati ruangan yang sangat gelap setelah ledakan rasa sakit di dada kami lewat. Perlahan-lahan kami mendapati tubuh kami mengambang diruangan sejuk dan lapang. Tangan kami saling bergandengan.

Airmata kami baru mengering hari itu ketika ibu memanggil kami. Ia menatap kami penuh kasih. “Aya, gorengnya sudah habis?” ibu bertanya lirih. Kami mengangguk. Mata kami melirik serpihan tulng ayam goreng yang berserak di lantai semen kusam. Ibu kami hanya membeli sepotong paha ayam goreng dari gerobak yang mangkal di muka gang rumah kami setelah kami merengek berjam-jam. Begitu ayam gorang yang kami idam-idamkan datang, kami langsung bersorak gembira, kemudian berebut. “Tidak usah berebut,” pinta ibu kami. Tapi kami sudah begitu lama menginginkan ayam goreng tak mengindahkan seruan itu. Kami bosan saban hari lauk makan kami hanya ampas tahu dan sayur kangkung.

Kami kerap menelan ludah setiap melihat teman-teman kami menggigit ayam goreng yang terlihat renyah dan nikmat diolesi saus merah menyala. “Nah, makanlah sudah ibu bagi rata,” kata ibu kami. Tapi bagaimana kami merasa puas kalau ayam goreng itu hanya sepotong untuk tiga orang? Jadilah kami menangis lantaran satu sama lain merasa mendapat bagian lebih kecil. Tangis kami berhenti setelah merasa capek sendiri.

Ibu membimbing kami ke kamar mandi. Kami pikir ibu hendak memandikan kami. Tapi ia menyuruh kami tidak perlu melepas baju kami. Sebelum membopong kami masuk ke bak mandi satu persatu ia memeluk dan menciumi kami – sekarang kami tahu kenapa ia melakukan hal itu. Kini kami mengapung di ketinggian. Di bawah sana kami melihat rumah kami yang lebih mirip kandang babi ramai oleh orang-orang yang terus berdatangan. Meski jarak yang jauh namun kami bisa melihat dengan jelas ibu kami yang terisak tanpa suara, duduk disamping bak mandi memeluk tubuh kami yang membiru.

Tak lama kemudian orang-orang berseragam cokelat membawa ibu kami. Ia berjalan loyo dibimbing orang-orang berseragam itu. Ia kami hanya menggeleng dan memejamkan mata menjawab pertanyaan orang-orang berseragam itu sambil dikerumuni orang-orang yang makin membludak masuk ke dalam rumah kami sehingga rumah kami yang berdinding tripleks seperti mau rubuh. Para tetangga langsung mengangkat tubuh kami dari bak mandi dan membaringkan ditengah ruangan. Ayah kami yang segera dijemput pulang dari tempat kerjanya di pabrik tahu oleh tetangga langsung pingsan begitu melihat tubuh kami berjejer membeku diatas tikar plastik bergambar Upin Ipin. Ayah kami sering marah-marah dan memukul kami berkali-kali meraung. Melhat kedatangan ayah, ibu kami langsung berlari menubruk ayah kami dan menumpahkan tangisnya disana.
***
Setiap hari, begitu bangun tidur kami memang selalu dihadang pertanyaan bagaimana kami membeli beras yang harganya terus membumbung. Akan tetapi haruskah Maryam membebaskan anak-anak kami dari derita kelaparan dengan cara begitu mengenaskan?

Maryam duduk diruangan. Mendekap lutut. Ia tidak menghiraukan kehadiranku yang berdiri di balik terali. Dia baru mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahku setelah kupanggil namanya beberapa kali. Matanya kosang, menatapku. Kupanggil lagi namanya. Kini dia bangun dari duduknya, menghampiriku. 

“Maryam, ini aku.” Aku menjulurkan tangan. Matanya tetap kosong dan letih sekali.  Ia masih mengenakan daster itu, yang warnanya telah pudar. Perlahan ia kemudian menyambut tanganku. Tangan kami saling memeluk tubuh kami satu sama lain yang dipisahkan terali. Kudengar ia menangis, lirih. Suara tangis yang asing namun mengiris perasaanku. 

“Mereka sudah kesurga,” ujar Maryam setelah tangisnya reda, “Mereka sekarang bahagia.” Bibirnya yang sepucat wajarnya terlihat bergetar.

“Boleh aku menciummu?”

Aku mengangguk. Selebihnya aku tak kuasa menahan airmataku yang ambrol hingga tubuhku sedikit terguncang. Belum pernah aku merasa sepilu itu hingga tangisku mengguncang tubuhku. Aku tak sanggup untuk bertanya kenapa ia bisa melakukan perbuatan itu. Perbuatan yang tak pernah kupikirkan dapat dilakukan oleh orang selembut dia; menyebabkan dia dikurung di terali besi ini dan hidup kami lebih sekedar berantakan. Aku bahkan tak mampu berkata apapu lagi, lidahku kelu, pikiranku buntu bagaimana mencerna semua peristiwa ini, berdehem untuk memberi tanda bahwa waktu membesuk sudah selesai.

Aku melangkah gontai menyusuri lorong rumah sakit. Perutku keroncongan. Tapi tak ada gairah sama sekali untuk makan sejak empat hari yang lalu, kecuali menggigit beberapa potongan biskuit eceran dari warung kecil kami. Peristiwa itu nyaris memporak porandakan kewarasanku. Aku meraba saku bajuku. Ada beberapa lembar sepuluh ribuan disana, sisa uang belasungkawa pemberian para tetangga. Masih perlukah aku pulang? Pertanyaan itu meyesak benak. Pasti mereka, para wartawan itu, sudah menungguku. Mungkin mereka kini sudah berkeliaran di sekitar rumahku, memotret sana sini, menanyai para tetangga.

Mimpi buruk itu terjadi empat hari yang lalu, tapi tak habis-habis mereka datang ke rumahku, berbasa-basi menyatakan belasungkawa sebelum tak puas-puas bertanya tentang kehidupan kami. Itulah tujuan utama mereka sebenarnya. Mengulik keseharian kami yang buat kami sebenarnya biasa-biasa saja seandainya tidak terjadi peristiwa tewasnya anak-anak kami. Tak perl lagi kuceritakan lagi bagaimana peristiwa itu terjadi. Kalian pasti sudah mengetahuinya melalui berita ditelevisi dan koran. Meski tidak tepat benar, karena rupanya para wartawan itu gemar menjadikan peristiwa sedih sebagai drama menarik, tapi begitulah kurang lebih terjadi. Istriku adalah perempuan saleh yang tak pernah membantah perintah suami. Memang begitu seharusnya ,bukan? seperti kata pemuka adat dan agama yang gemar mengutip ayat-ayat kitab suci untuk keperluan mereka sendiri. 

Dia membantu menambah penghasilan  keluarga dengan membuka warung kecil yang menjual jajan anak-anak. Ada ciki-cikian, kerupuk, goreng-gorengan dan sejenisnya. Hasilnya tentu saja sangat kecil. Aku tahu kita punya pemahaman yang tidak sama dengan kata ‘sangat kecil’ itu. Yang ingin kukatakan adalah setidaknya sedikit mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan jajan ana-anak kami. Aku bekerja dipabrik tahu. Pekerjaanku mengantarkan tahu kepada pelanggan dipasar dan warung-warung. 
 
Begitu saja. Tak ada yang manarik dalam kehidupan serupa itu kecuali tentang kerepotan kami membeli beras dan menyediakan biaya menyekolahkan anak-anak, serta tentu keinginan-keinginan kami yang harus kami pendam dalam-dalam saban melihat para tetangga yang membeli ini itu yang tampaknya membuatnya merasa gembira. 

Beberapa hari sebelum peristiwa itu, semua baik-baik saja. Kami menjalani kegiatan seperti biasa. Aku bangun sebelum subuh untuk pergi ke pabrik tahu. Demikian istriku, ia pergi ke pasar untuk berbelanja. Ia akan sampai ke rumah sebelum anak-anak kami terjaga. Ia akan memasak nasi untuk makan anak-anak lantas menyiapkan dagangan, mengadon bahan goreng-gorengan. Kalau ada yang tak biasa adalah ketika menjelang tidur istriku bilang bahwa ana-anak menangis. Ini pun sebenarnya biasa saja. Apa anehnya dengan anak-anak menangis? Walapun suara tangisan mereka sering membuatku tambah marah dan memukuli mereka. 
“Mereka berebut ayam goreng,” kata istriku dengan nada, yang belakangan kusadari, putus asa.
***
Bukan ayam goreng menjadi musabab aku melakukan perbuatan itu. Tapi mimpi-mimpi itu. Mimpi yang berulang kali menyambangi tidurku. Mimpi yang begitu nyata. Bahkan suara lelaki itu terus saja mendengung dikuping sesudah aku terjaga. Lelaki cahay dengan ramput hitam panjang dan berkilau itu muncul disana, di dapur menyatu dengan ruang tamu. Dia menjajari langkahku ketika aku bergegas ke pasar. Dia muncul disela-sela los pasar. Wajahnya begitu tampan, seperti tak tersentuh debu, suaranya alangkah merdu. Ia berkata sudah tak ada waktu lagi menahan-nahan untuk membawa anak kami pergi bersamanya. 

“Maryam , kami lebih bisa menjaga mereka,” suara itu. Aku tak mengenal laki-laki itu. Aku tak pernah mengenal laki-laki selain suamiku. Tapi setiap aku ingin bertanya siapa dirinya, lidahku selalu kaku oleh segala pesonanya yang memancar dan membuatku tertunduk. 

“Kasihanilah mereka, Maryam,” lelaki itu terus berkata. “Kembalikan mereka padaku. Tatap wajah mereka ini bukan tempat yang bersahabat untuk anak-anak itu.” Lalu dia menuturkan bagaimana cara mengembalikan anak-anak kami yang lucu dan tak berdosa itu kepadanya.

“Lakukanlah. Kalau kamu benar-benar menyayangi mereka.” Lelaki itulah yang menuntunku melakukan penyelamatan itu. Kini mereka telah bebas.****

Cerpen kali ini bukanlah karya saya dan saya mohon maaf untuk yang nulis cerpen ini Aris Kurniawan, karena saya telah berani mengutip cerita pendek karyanya yang terdapat di majalah. Terima kasih telah membaca cerpen ini, walau agak ribet tapi ceritanya menarik dan cukup membuat perasaan kita ikut terbawakan.

Terima Kasih Telah Berkunjung^_^


0 comments:

Post a Comment

 

My Stories Published @ 2014 by Ipietoon