Cerpen kehidupan dan kisah yang sedih
Anak-anak
kesayangan Tuhan
Aris Kurniawan
Kata-kata ibu kami benar belaka, di sini kami lebih baik. Bisa terbang
seperti kupu-kupu yang tidak menginginkan apa-apa lagi,termasuk ayam goreng.
Kupu-kupu yang tak memerlukan bantal dan seilmut untuk tidur. Untuk apa kami
membuat ayam goreng, jika rasa lapar dan ingin itu sudah tak ada; kenapa pula
harus berdesak-desakan di tempat tidur bila ruang tak lagi berdaya mengurung
kami. Kami mengepak-ngepakkan sayap, meluncur kesana kemari. Kami memang harus
menahan sakit luar biasa sebelum sampai ketempat ini. Tapi rasa sakit itu tak
berlangsung lama. Hanya beberapa detik setelah ibu membenamkan kepala kami satu
persatu kedalam bak mandi.
“Mari, Nak,” kata ibu kami sambil sambil
membopong kami dan memasukan kami ke dalam bak mandi yang airnya jadi meluber
oleh tubuh kami, “tahan sebentar,” kata ibu kami lirih dan terdengar samar
ditelinga kami. Air matanya berlinang. Sejenak kami melewati ruangan yang
sangat gelap setelah ledakan rasa sakit di dada kami lewat. Perlahan-lahan kami
mendapati tubuh kami mengambang diruangan sejuk dan lapang. Tangan kami saling
bergandengan.
Airmata kami baru mengering hari itu
ketika ibu memanggil kami. Ia menatap kami penuh kasih. “Aya, gorengnya sudah
habis?” ibu bertanya lirih. Kami mengangguk. Mata kami melirik serpihan tulng
ayam goreng yang berserak di lantai semen kusam. Ibu kami hanya membeli
sepotong paha ayam goreng dari gerobak yang mangkal di muka gang rumah kami
setelah kami merengek berjam-jam. Begitu ayam gorang yang kami idam-idamkan
datang, kami langsung bersorak gembira, kemudian berebut. “Tidak usah berebut,”
pinta ibu kami. Tapi kami sudah begitu lama menginginkan ayam goreng tak
mengindahkan seruan itu. Kami bosan saban hari lauk makan kami hanya ampas tahu
dan sayur kangkung.
Kami kerap menelan ludah setiap
melihat teman-teman kami menggigit ayam goreng yang terlihat renyah dan nikmat
diolesi saus merah menyala. “Nah, makanlah sudah ibu bagi rata,” kata ibu kami.
Tapi bagaimana kami merasa puas kalau ayam goreng itu hanya sepotong untuk tiga
orang? Jadilah kami menangis lantaran satu sama lain merasa mendapat bagian
lebih kecil. Tangis kami berhenti setelah merasa capek sendiri.
Ibu membimbing kami ke kamar mandi.
Kami pikir ibu hendak memandikan kami. Tapi ia menyuruh kami tidak perlu
melepas baju kami. Sebelum membopong kami masuk ke bak mandi satu persatu ia
memeluk dan menciumi kami – sekarang kami tahu kenapa ia melakukan hal itu.
Kini kami mengapung di ketinggian. Di bawah sana kami melihat rumah kami yang
lebih mirip kandang babi ramai oleh orang-orang yang terus berdatangan. Meski
jarak yang jauh namun kami bisa melihat dengan jelas ibu kami yang terisak
tanpa suara, duduk disamping bak mandi memeluk tubuh kami yang membiru.
Tak lama kemudian orang-orang
berseragam cokelat membawa ibu kami. Ia berjalan loyo dibimbing orang-orang
berseragam itu. Ia kami hanya menggeleng dan memejamkan mata menjawab
pertanyaan orang-orang berseragam itu sambil dikerumuni orang-orang yang makin
membludak masuk ke dalam rumah kami sehingga rumah kami yang berdinding
tripleks seperti mau rubuh. Para tetangga langsung mengangkat tubuh kami dari
bak mandi dan membaringkan ditengah ruangan. Ayah kami yang segera dijemput
pulang dari tempat kerjanya di pabrik tahu oleh tetangga langsung pingsan
begitu melihat tubuh kami berjejer membeku diatas tikar plastik bergambar Upin
Ipin. Ayah kami sering marah-marah dan memukul kami berkali-kali meraung.
Melhat kedatangan ayah, ibu kami langsung berlari menubruk ayah kami dan
menumpahkan tangisnya disana.
***
Setiap hari, begitu bangun tidur kami
memang selalu dihadang pertanyaan bagaimana kami membeli beras yang harganya
terus membumbung. Akan tetapi haruskah Maryam membebaskan anak-anak kami dari
derita kelaparan dengan cara begitu mengenaskan?
Maryam duduk diruangan. Mendekap
lutut. Ia tidak menghiraukan kehadiranku yang berdiri di balik terali. Dia baru
mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahku setelah kupanggil namanya beberapa
kali. Matanya kosang, menatapku. Kupanggil lagi namanya. Kini dia bangun dari
duduknya, menghampiriku.
“Maryam, ini aku.” Aku menjulurkan
tangan. Matanya tetap kosong dan letih sekali.
Ia masih mengenakan daster itu, yang warnanya telah pudar. Perlahan ia
kemudian menyambut tanganku. Tangan kami saling memeluk tubuh kami satu sama
lain yang dipisahkan terali. Kudengar ia menangis, lirih. Suara tangis yang
asing namun mengiris perasaanku.
“Mereka sudah kesurga,” ujar Maryam
setelah tangisnya reda, “Mereka sekarang bahagia.” Bibirnya yang sepucat
wajarnya terlihat bergetar.
“Boleh aku menciummu?”
Aku mengangguk. Selebihnya aku tak
kuasa menahan airmataku yang ambrol hingga tubuhku sedikit terguncang. Belum
pernah aku merasa sepilu itu hingga tangisku mengguncang tubuhku. Aku tak sanggup
untuk bertanya kenapa ia bisa melakukan perbuatan itu. Perbuatan yang tak
pernah kupikirkan dapat dilakukan oleh orang selembut dia; menyebabkan dia
dikurung di terali besi ini dan hidup kami lebih sekedar berantakan. Aku bahkan
tak mampu berkata apapu lagi, lidahku kelu, pikiranku buntu bagaimana mencerna
semua peristiwa ini, berdehem untuk memberi tanda bahwa waktu membesuk sudah
selesai.
Aku melangkah gontai menyusuri lorong
rumah sakit. Perutku keroncongan. Tapi tak ada gairah sama sekali untuk makan
sejak empat hari yang lalu, kecuali menggigit beberapa potongan biskuit eceran
dari warung kecil kami. Peristiwa itu nyaris memporak porandakan kewarasanku.
Aku meraba saku bajuku. Ada beberapa lembar sepuluh ribuan disana, sisa uang
belasungkawa pemberian para tetangga. Masih perlukah aku pulang? Pertanyaan itu
meyesak benak. Pasti mereka, para wartawan itu, sudah menungguku. Mungkin
mereka kini sudah berkeliaran di sekitar rumahku, memotret sana sini, menanyai
para tetangga.
Mimpi buruk itu terjadi empat hari
yang lalu, tapi tak habis-habis mereka datang ke rumahku, berbasa-basi
menyatakan belasungkawa sebelum tak puas-puas bertanya tentang kehidupan kami.
Itulah tujuan utama mereka sebenarnya. Mengulik keseharian kami yang buat kami
sebenarnya biasa-biasa saja seandainya tidak terjadi peristiwa tewasnya
anak-anak kami. Tak perl lagi kuceritakan lagi bagaimana peristiwa itu terjadi.
Kalian pasti sudah mengetahuinya melalui berita ditelevisi dan koran. Meski
tidak tepat benar, karena rupanya para wartawan itu gemar menjadikan peristiwa
sedih sebagai drama menarik, tapi begitulah kurang lebih terjadi. Istriku
adalah perempuan saleh yang tak pernah membantah perintah suami. Memang begitu
seharusnya ,bukan? seperti kata pemuka adat dan agama yang gemar mengutip
ayat-ayat kitab suci untuk keperluan mereka sendiri.
Dia membantu menambah
penghasilan keluarga dengan membuka
warung kecil yang menjual jajan anak-anak. Ada ciki-cikian, kerupuk,
goreng-gorengan dan sejenisnya. Hasilnya tentu saja sangat kecil. Aku tahu kita
punya pemahaman yang tidak sama dengan kata ‘sangat kecil’ itu. Yang ingin
kukatakan adalah setidaknya sedikit mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan jajan
ana-anak kami. Aku bekerja dipabrik tahu. Pekerjaanku mengantarkan tahu kepada
pelanggan dipasar dan warung-warung.
Begitu saja. Tak ada yang manarik
dalam kehidupan serupa itu kecuali tentang kerepotan kami membeli beras dan
menyediakan biaya menyekolahkan anak-anak, serta tentu keinginan-keinginan kami
yang harus kami pendam dalam-dalam saban melihat para tetangga yang membeli ini
itu yang tampaknya membuatnya merasa gembira.
Beberapa hari sebelum peristiwa itu,
semua baik-baik saja. Kami menjalani kegiatan seperti biasa. Aku bangun sebelum
subuh untuk pergi ke pabrik tahu. Demikian istriku, ia pergi ke pasar untuk
berbelanja. Ia akan sampai ke rumah sebelum anak-anak kami terjaga. Ia akan
memasak nasi untuk makan anak-anak lantas menyiapkan dagangan, mengadon bahan
goreng-gorengan. Kalau ada yang tak biasa adalah ketika menjelang tidur istriku
bilang bahwa ana-anak menangis. Ini pun sebenarnya biasa saja. Apa anehnya
dengan anak-anak menangis? Walapun suara tangisan mereka sering membuatku
tambah marah dan memukuli mereka.
“Mereka berebut ayam goreng,” kata
istriku dengan nada, yang belakangan kusadari, putus asa.
***
Bukan ayam goreng menjadi musabab aku
melakukan perbuatan itu. Tapi mimpi-mimpi itu. Mimpi yang berulang kali
menyambangi tidurku. Mimpi yang begitu nyata. Bahkan suara lelaki itu terus
saja mendengung dikuping sesudah aku terjaga. Lelaki cahay dengan ramput hitam
panjang dan berkilau itu muncul disana, di dapur menyatu dengan ruang tamu. Dia
menjajari langkahku ketika aku bergegas ke pasar. Dia muncul disela-sela los
pasar. Wajahnya begitu tampan, seperti tak tersentuh debu, suaranya alangkah
merdu. Ia berkata sudah tak ada waktu lagi menahan-nahan untuk membawa anak
kami pergi bersamanya.
“Maryam , kami lebih bisa menjaga
mereka,” suara itu. Aku tak mengenal laki-laki itu. Aku tak pernah mengenal
laki-laki selain suamiku. Tapi setiap aku ingin bertanya siapa dirinya, lidahku
selalu kaku oleh segala pesonanya yang memancar dan membuatku tertunduk.
“Kasihanilah mereka, Maryam,” lelaki
itu terus berkata. “Kembalikan mereka padaku. Tatap wajah mereka ini bukan
tempat yang bersahabat untuk anak-anak itu.” Lalu dia menuturkan bagaimana cara
mengembalikan anak-anak kami yang lucu dan tak berdosa itu kepadanya.
“Lakukanlah. Kalau kamu benar-benar
menyayangi mereka.” Lelaki itulah yang menuntunku melakukan penyelamatan itu.
Kini mereka telah bebas.****
Cerpen kali ini bukanlah karya saya
dan saya mohon maaf untuk yang nulis cerpen ini Aris Kurniawan, karena saya telah berani mengutip cerita pendek
karyanya yang terdapat di majalah. Terima kasih telah membaca cerpen ini, walau
agak ribet tapi ceritanya menarik dan cukup membuat perasaan kita ikut
terbawakan.
Terima Kasih Telah Berkunjung^_^
Kunjungi juga mydiarylusia.blospot.com
0 comments:
Post a Comment